Abaikan Arbitrase, Hakim TPI Dianggap Langgar Kode Etik

Kamis, 20 November 2014 - 12:13 WIB
Abaikan Arbitrase, Hakim TPI Dianggap Langgar Kode Etik
Abaikan Arbitrase, Hakim TPI Dianggap Langgar Kode Etik
A A A
JAKARTA - Majelis hakim yang menangani perkara sengketa kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dinilai telah melanggar kode etik.

Pasalnya, hakim perkara itu telah mengabaikan adanya perjanjian penyelesaian perselisihan itu di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Rupanya majelis hakim menarik garis pemisah antara penyelesaian perselisihan perjanjian melalui arbitrase dengan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH)," tutur praktisi hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Kamis (20/11/2014).

Secara teoritis, kata, perbuatan melawan hukum dan wanprestasi merupakan hal berbeda. Dia menilai, penyelesaikan perselisihan karena wanprestasi lebih tepat melalui arbitrase.

"Sedangkan sengketa yang didasarkan pada perbuatan orang yang merugikan orang lain disebut PMH yang penyelesainnya di pengadilan negeri," tuturnya.

Akan tetapi, kata dia, jika gugatan perbuatan melawan hukum mengarah pada sengketa pemilikan saham, maka pengadilan termasuk pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) harus membatasi diri untuk tidak memutus perkara soal saham.

Fickar mengatakan, kewenangan pengadilan di MA terbatas pada mengadili perbuatan melawan hulumnya yang merugikan orang lain, bukan pada perselisihan kepemilikan saham.

"Jika MA masuk pada ranah kepemilikan saham, maka putusan tersebut keliru karena telah memutus yang bukan kewenangannya," tandasnya.

Dengan begitu, kata dia, majelis hakim yang mengadili perkara kepemilikan saham TPI itu melanggar kode etik. "Ya melanggar kode etik, karena tidak profesional (unprofesional) tidak menerapkan hukum atau aturan dan kewenangan dengan baik," ungkapnya.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Agung M Saleh, dan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan, memutus perkara sengketa PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyati Rukmana atau Mbak Tutut.

Putusan MA itu menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan PT Berkah atas kepemilikan TPI.

Sejumlah pihak mempertanyakan putusan MA tersebut. Sebab, para pihak yang bersengketa antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut sepakat membawa persoalannya ke BANI.

Dalam petunjuk teknis yudisial yang dibuat dalam Rakernas Mahkamah Agung 19-22 September 2005 di Denpasar, Bali terdapat poin yang disepakati.

Petunjuk teknis yudisial MA itu menyebutkan pengadilan negeri/umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase. Walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0839 seconds (0.1#10.140)